Mungkin temen2 gak asing lagi denger judul acara komedi situasi "Suami-suami takut istri". Komedi sikon ini ditayangkan Trans TV setiap senin-jumat.
Acara ini mengangkat kehidupan keseharian masyarakat Indonesia yang bergabung dalam meriahnya dalam kehidupan cluster.
Di cluster tersebut ada 4 keluarga, pertama, pak RT yang hidup dengan Istri dan satu orang anaknya bernama Lila, keluarga ini sebagai representasi keluarga betawi. Kedua, Tigor dan Welas. Tigor seorang Batak sedangkan Welas asli Jawa. Ketiga, Karyo dan Sella. Keempat, Faisal dan Deswita. Keluarga ini paling jelas deskripsinya yaitu sebagai orang Padang lengkap dengan asosiasinya, irit (kalau kata “pelit” terlalu sensitif). Terakhir, seorang janda cantik yang hidup sendiri, Pretty namanya. Akibat kecantikannya, ia selalu menjadi incaran para suami hingga membuat para istri tak kuasa menjadikan Pretty sebagai bahan gosip.
Terlepas dari adanya perbedaan dari setiap keluarga itu, intinya mereka mempunyai satu kesamaan yaitu ISTI (Ikatan Suami Takut Istri). Kemudian, di luar cluster terdapat keluarga Dadang yang hidup poligami (3 istri) dengan 3 anak. Dadang yang diangkat menjadi satpam di cluster tersebut seringkali meramaikan jagat cerita kehidupan di cluster.
Saya rasa, komedi sikon ini bisa menjadi sedikit kenyataan dalam kehidupan nyata di jagad negeri ini. Ketika banyak daerah yang kisruh akibat perang saudara berlatar etnik, agama, dan ragam kepentingan, seperti Ambon, Poso dan Sulsel. Komedi ini justru memberikan suatu teladan dalam menyatukan berbagai “keping” tersebut menjadi “puzzle” yang membentuk gambar yang indah.
Sinetron ini juga mewakili keadaan yang akhir-akhir ini banyak bergejolak, yaitu tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan berbagai penyiksaan terhadap wanita. Wanita seringkali dianggap sebagai sub-ordinat laki-laki hingga tak kuasa menjadikannya objek dalam kehidupan. Komedi ini dengan cerdik membawa cerita imbangan dalam bingkai dominasi kuasa wanita atas suami di dalam hiruk-pikuk rumah tangga. Para suami pun seakan menjadi makhluk tuna kuasa ketika berhadapan dengan istri-istrinya.
Menurut saya, komedi ini hadir untuk menjadi penyeimbang kehidupan di Indonesia yang seringkali berat sebelah selain sebagai penghibur. Realitas harus memaksa kita untuk melihat kembali pandangan kita atas kehidupan fana ini. Aras emosional sudah sepatutnya tergantikan oleh aras rasional baik berdasar akal ataupun otoritas. Dan komedi ini telah mampu menjadikan kita untuk bercermin atas kehidupan kita.
Namun, hati-hati apabila anak2 menontonnya, krn terkadang disitu menjadi jelas sekali ttg perlakuan yg kurang sopan seorang istri terhadap suami, dan juga kalimat2 umpatan kasar yang notabene tidak baik didengar dan ditonton oleh anak dibawah umur. Dan juga, menjadi tidak mendidik untuk orang dewasa pun, krn waktu tayangnya bertepatan dengan umat muslim untuk melaksanakan sholat magrib. Hhmmm....pada akhirnya, kembali ke diri pribadi kita masing2 untuk menyikapi ini.